tarjih
- 15.34
- by
- Unknown
“
KATA PENGANTAR’’
Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan yang Maha Esa, karena berkat rahmat-Nya kami dapat menyelesaikan makalah ini yang berjudul “ TARJIH” Makalah ini dibuat dengan tujuan memenuhi tugas dari dosen ushul fiqih. Sesuai dengan tugas yang diberikan, makalah bertema “ TARJIH ’’ yang membahas segala isinya.
Kami menyadari bahwa makalah ini jauh dari sempurna, oleh karena itu kami mengharapkan kritik ddan saran dari Ibu serta rekan-rekan sekalian sehingga kami dapat memperbaiki kesalahan-kesalahan dalam makalah ini dan menyempurnakannya sehingga menjadi sumber ilmu yang bermanfaat bagi kita semua.
Akhir kata kami ucapkan terima kasih kepada pihak yang sudah berperan dalam menyusun makalah ini mulai dari awal penyusunan hingga penyelesaian makalah. Semoga makalah ini dapat memenuhi tugas yang diberikan dan dapat menjadi acuan untuk menghasilkan makalah yang lebih baik lagi.
Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan yang Maha Esa, karena berkat rahmat-Nya kami dapat menyelesaikan makalah ini yang berjudul “ TARJIH” Makalah ini dibuat dengan tujuan memenuhi tugas dari dosen ushul fiqih. Sesuai dengan tugas yang diberikan, makalah bertema “ TARJIH ’’ yang membahas segala isinya.
Kami menyadari bahwa makalah ini jauh dari sempurna, oleh karena itu kami mengharapkan kritik ddan saran dari Ibu serta rekan-rekan sekalian sehingga kami dapat memperbaiki kesalahan-kesalahan dalam makalah ini dan menyempurnakannya sehingga menjadi sumber ilmu yang bermanfaat bagi kita semua.
Akhir kata kami ucapkan terima kasih kepada pihak yang sudah berperan dalam menyusun makalah ini mulai dari awal penyusunan hingga penyelesaian makalah. Semoga makalah ini dapat memenuhi tugas yang diberikan dan dapat menjadi acuan untuk menghasilkan makalah yang lebih baik lagi.
Medan, MARET
2016
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
1.2 Rumusan Masalah
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Tarjih
2.2 Dasar- Dasar Tarjih
2.3 Syarat-Syarat Tarjih
2.4 Cara Pentarjihan
2.5 Contoh Kasus Metode Tarjih
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
1.2 Rumusan Masalah
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Tarjih
2.2 Dasar- Dasar Tarjih
2.3 Syarat-Syarat Tarjih
2.4 Cara Pentarjihan
2.5 Contoh Kasus Metode Tarjih
BAB III KESIMPULAN
3.1 Kesimpulan
3.2 Daftar Pustaka
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Ushul fiqh merupakan sarana atau metode dalam
hukum islam yang sudah ada yakni bersumberkan Al-Qur’an dan Hadits. Didalam
mengkaji Al-Qur’an dan Hadits ini, janganlah menela’ah mentah-mentah, agar kita
tidak keliru didalam mengamalkannya. Supaya menjadi hukum syari’ yang sesuai
haruslah menggunakan metode yang benar, karena dalam pengistinbatan hukum islam
terdapat beberapa metode yang harus dipahami betul-betul. Yang salah satunya
dengan metode ta’arudh ad-dilalah yang di dalm metode ini terdapat teori
al- tarjih. Ilmu tarjih itu sendiri merupakan bagian dari cabang ilmu ushul
fiqh yang membicarakan tentang “ menguatkan” baik itu menguatkan nash, hadits,,
ataupun yang lainnya agar tidak ada kelemahan dalm pengamalan hukum yng
dikeluarkan oleh berbagai metode tadi, sehingga tidak ada lagi keraguan. Namun
kita juga perlu melihat bagaimana kriteria ulama terdahulu supaya kita dapat
melaksanakan dan mengeluarkan hukum dari setiap permasalahannya yang ada
dihadapan kita. Untuk mengkaji lebih jelas apa itu tarjih, dan bagaimana
penerapan teori ini, maka kami membuat rumusan masalah
1.2 Rumusan Masalah
1.Apa yang
dimaksud dengan tarjih ?
2. Apa dasar-dasar metode teori Tarjih ?
3. Apa saja ayarat-syarat untuk mentarjih ?
4. Bagaimana cara pentajrihan suatu hukum
BAB II
PEMBAHASAN
2.1Pengertian tarjih
Secara leksikal perkataan tarjih ( تر جيح )adalah masdar darikata
Arab “rajjaha“رجح ) ), ” yurajjihu”
( يرجح ), ” tarjihan” (ترجيحا ),
yang secara etimologi sebagaimana dikutip dalam kitab al-Ta`rifat karya
`Ali bin Muhammad al-Jurjani yaitu:
الترجيح هو
اثبات مرتبة فى احدالدليلين على الاخر
Artinya: “Tarjih adalah menetapkan atau menguatkan salah
satu dalil dengan lainnya.[1]
Konsep tarjih muncul ketika terjadinya
pertentangan secara lahir antara satu dalil dengan dalil lainnya yang sederajat
dan tidak bisa diselesaikan dengan jalan (metode) al-jama` wa al-tawfiq (الجمع والتوفيق ).
Dalil yang dikuatkan disebut dengan rajih ( راجح ),
sedangkan dalil yang dilemahkan disebut marjuh ( مرجوح )Adapun
Pengertian tarjih secara terminologi terdapat dua definisi yang dikemukakan
oleh ulama ushul fiqh :
A. Menurut ulama hanafiah
Artinya : memunculkan adanya tambahan bobot
pada salah satu dari dua dalil yang sama (sederajat) dengan tambahan yang
tidakberdiri sendiri.
B.Menurut jumhur ulama
Artinya : menguatkan salah satu dalil yang
zhanni dari yang lainnya untuk diamalkanberdasarkan dalil tersebut.
Dengan dalil ini ulama jumhur mengkhususkan
tarjih pada permasalahan zhanni, dan menurut mereka tarjih tidak termasuk
persoalan yang qoth’i, juga tidak termasuk antara yang qoth’i dan zhanni.
2.2
Dasar-dasar tarjih
1) Ijma’ sahabat untuk menjalankan tarjih.
Mereka memakai hadits yang diriwayatkan ‘aisyah yang menerangkan wajibnya mandi
ketika bertemu dua alat kelamin laki-laki dan perempuan, dan mereka
meninggalkan hadits “air hanya dari air”.
2) Kalau dua dugaan berlawanan, kemudian
salah satunya lebih kuat, maka memakai dugaan yang kuat ini menjadi
tertentu/tidak ragu-ragu menurut adat kebiasaan. Demikian pula hukum-hukum
syari’at. Kalau tidak memakai yang lebih kuat, tentulah memakai yang lemah.
Pemakaian yang lemah dengan meninggalkan yang kuat tidak dapat diterima akal.
2.3
Syarat-syarat Tarjih
Adapun mengenai syarat-syarat tarjih itu dapat
disebutkan, sebagaiberikut:
- Dua dalil tersebut harus ta`arudh (kontradiksi)
dan tidak ada kemungkinan untuk mengamalkan keduanya dengan cara apapun.
Oleh karena itu tidak mungkin terjadi tarjih dalam dua dalil yang qath`i (pasti
) karena kedua dalil ini tidak mungkin bertentangan (kontradiksi).
- Kedua dalil yang bertentangan itu sama pantas untuk petunjuk
kepada yang dimaksud.
- Kedua dalil yang dimaksud ada petunjuk yang mewajibkan
beramal salah satu keduanya dan meninggalkan yang lainnya. [2]
Berdasarkan persyaratan tarjih di atas, dapat
dipahami bahwa, tidak terjadi tarjih terhadap al-Qur`an (qath`i
al-thubut) dengan hadith Ahad (dhanni al-thubut) dikarenakan kedua
dalil ini tidak sederajat (setingkat). Lain halnya jika terjadi perbedaan dari
segi dalalahnya. Seperti kedua dalil-dalil itu sama-sama qath`i
al-thubut (al-Qur`an dan Hadith mutawatir), akan tetapi kandungan
isinya (dalalah) yang satu qath`i al-dalalah dan yang
lain dhanni al-dalalah.
Demikian pula (tidak terjadi tarjih), jika yang
satu dalil dari hadith Mutawatir dan yang lain hadith Ahad, karena dalam hal
semacam ini hadith Mutawatir yang harus didahulukan dalam pengamalannya.
2.4
Cara pentarjihan
- Tarjih bain an-nushus
Al-tarjih baina al-nusush, atau menguatkan
salah satu nash (ayat atau hadith)yang saling bertentangan. Untuk mengetahui
kuatnya salah satu nash yang saling bertentangan, ada beberapa cara yang
dikemukakan para ulama usul fiqh, yaitu: (a). Dari segi sanad (para perawi
hadits). (b). dari segi matan (teks) hadits. (c). Dari segi hukum atau
kandungan hadiths (madlul) . (d). Pentarjihan dengan menggunakan faktor (dalil)
lain di luar nash (amr al-kharij).
- Dari segi sanad
Imam as-syaukani berpendapat bahwa pentarjihan
dapat dilakukan melalui 42 cara, diantaranya[3] :
1) Menguatkan
salah satu nash dari segi sanadnya.
2) Pentarjihan
dengan melihat riwayat itu sendiri.
3) Pentarjihan
melalui caramenerima hadits dari rasul.
- Dari segi matan
Menurut al-amidi ada 51 cara dalam pentarjihan
dari segi matan, diantaranya :
1) Teks yang mengandung larangan
diutamakan daripada teks yang mengandung perintah. Sesuai dengan kaidah menolak
kemadharatan lebih baik daripada mengambil manfaat.
2) Teks yang mengandung perintah
lebih didahulukan daripada teks yang mengandung kebolehan, karena melaksanakan
perintah sekaligus melaksanakan hukum yang boleh.
3) Makna hakikatdari suatu lafazh
lebih diutamakan daripada makna majazi.
4) Dalil khusus diutamakan daripada
dalil umum.
5) Teks umum yang belum dikhususkan
lebih diutamakan teks umu yang telah ditakhsis.
6) Teks yang berisi perkataan lebih
diutamakan daripada teks yang sifatnya perbuatan.
7) Teks yang muhkam lebih
diutamakan daripada teks yang mufassar, karena muhkam lebih pasti daripada
muffassar.
8) Teks yang sharih (jelas)
didahulukan daripada teks yang bersifat sendirian.
- Dari segi hukum atau kandungan hukum
Melalui cara ini menurut al-amidi ada 11 cara,
sedangkan menurut asy-syaukani ada 9 cara, diantaranya :
1) Teks yang
mengandung bahaya menurut jumhur lebih diutamakan dari teks yang
membolehkan.Menurut jumhur teks yang menetapkan lebih diutamakandari teks yang
bersifat menetapkan memberiinformasi tambahan
2) Apabila suatu
teks menghindarkan terpidana dari hukuman, dan teks yang lain mewajibkan
terpidana hukuman maka yang dipilih adalah yang pertama.
3) Teks yang
mengandung hukuman lebih ringan didahulukan daripada teks yang mengandung hukuman
berat
- Tarjih menggunakan faktor (dalil) lain dari luar nash
Menurut al-amidi ada 15 cara dengan metodeini,
sedangkan as-syaukani meringkasnya menjadi 10, diantaranya :
1) Mendahulukan salah satu dalil
yang didukung dalil lain, baik al-qur’an, sunnah, maupun qiyas, dll.
2) Mendahulukakn salah satu amalan
yang didahuluklan oleh amalan ahli madinah, karea mereka lebih mengetahui
persoalan turunnya ayat.
3) Menguatkan dalil yang
menyebutnya illat (motivasi) hukumnya dari suatu nash serta dalil yang
mengandungasbabun nuzul atau asbabul wurud daripada dalil yang
tidakmenyebutkannya.
4) Mendahulukan dalil yang
didalamnya menuntut sikap waspada daripada dalil yang tidakmenuntut demikian.
5) Mendahulukan dalil yang diikuti
perkataan atau pengalaman dari perawinya daripada dalil yang tidak demikian.
- Tarjih bain al-aqisyah
Ta`arudh dengan segala macam cara
penyelesaiannya tersebut di atas adalah bertentangan antara dua dalil syara`
yang berupa nash. Di samping itu ada ta`arudh yang terjadi antara dua dalil
syara` yang bukan nash yaitu ta`arudh antara qiyas dengan qiyas. Muhammad
bin `Ali al-Syawkani mengemukakan tujuh belas macam pentarjihan dalam persoalan
qiyas yang saling bertentangan (ta`arudh). Ketujuh belas macam
pentarjihan tersebut dikelompokkan oleh Wahbah al-Zuhaily (guru besar fikih
Islam/usul Fiqh di Universitas Damaskus, Suriah) menjadi empat
kelompok, yaitu: 1. Tarjih dari segi hukum asal. 2. Tarjih dari segi
hukum furu`. 3. Tarjih dari segi `illat. 4) Tarjih melalui faktor luar.
- Dari segi hukum ashal
1) Menguatkan qiyas yang hukum
ashalnya qoth’i dari yang zhanni.
2) Menguatkan qiyas yang landasan
dalilnyaijma dari qiyas yang landasan dalilnya nash, sebab nash itu bisa di
takhsis, ditakwildan dinasakh, sedangkan ijma’ tidak.
3) Menguatkan qiyas yang didukung
dalil yang khusus.
4) Menguatkan qiyas yang sesuai
dengan kaidah-kaidah qiyasdari yang tidak.
5) Menguatkan qiyas yang telah
disepakati para ulama tidak akan dinasakh.
6) Menguatkan qiyash yang huukum
ashalnya bersifat khusus.
- Dari segi hukum cabang
1) Menguatkan hukum cabang yang
dating, kemudian dibandingkan dengan hukum ashal.
2) Menguatkan hukum cabang yang
illatnya diketahui secara qoth’i dari yanag hanya diketahui secara zhanni.
3) Menguatkan hukum cabang yang
ditetapkan berdasarkan sejumlah logika nash ari hukum cabang yang hanya
didasarkan kepada logika nash secara tafshili.
- Dari segi illat
Dari kelompok ini terbagi menjadi dua cara
yakni : dari segi penetapandan segi sifat illat itu sendiri. Adapun dari segi
penetapan :
1) Menguatkan illat yang disebutkan
dalam nash atau disepakati sebagai illat dari yang tidak demikian.
2) Menguatkan illat yang dilakukan
dengan cara as-sibru wa attaqsim yang dilakukanpara mujtahid.
3) Menguatkan illat yang didalamnya
terdapat isyarat nash dari illat yang ditetapkan melalui munasabah (keserasian,
karea isyarat nash lebih baik daripada dugaan seorang mujtahid.
Dari sifat illatnya :
1) Menguatkan illat yng bisa diukur
daripada yang relative.
2) Menguatkan illat yng sifatnya
bisa dikembangkan pada hukum lain daripada yang terbatas pada satu hukum saja..
3) Menguatkan illat yang berkaitan
dengan masalah yang penting dari pada yang bersifat hajjiya (penunjang).
4) Menguatkan illat yng jelas
melatarbelakangi suatu hukum, daripada illat yang bersifat indicator
sajaterhadap latar belakang hukum
- Melalui faktor lain
1) Menguatkan qiyas yang didukung
lebih dari satu illat
2) Menguatkan pendapat sahabat
sebagai salah satu dalil bagi yang mengakui bahwa pendapat sahabat itu dalil.
3) Menguatkan illat yang bisa
berlaku untuk seluruh furu’
4) Menguatkan qiyas yang didukung
lebih dari satu dalil.
2.5
Contoh Kasus Metode Tarjih
Perawi salah satu dari dua hadits lebih tsiqah,
lebih dlabth, lebih hati-hati dalam periwayatan, dan lebih sedikit
salahnya daripada perawi yang lain. Maka, riwayat pertama lebih kuat
dibandingkan riwayat yang kedua[4].
Contoh :
Hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah
(3/529), At-Tirmidzi (no. 1165), An-Nasa’i dalam ‘Isyratun-Nisaa’ (no.
115), Ibnul-Jaarud (3/52 – Al-Ghauts), Ibnu Hibbaan (Al-Ihsaan :
6/202) dari jalan Abu Khaalid Al-Ahmar (Sulaiman bin Hayyaan Al-Azdiy), dari
Adl-Dlahhaak bin ‘Utsmaan, dari Makhramah bin Sulaiman, dari Kuraib, dari Ibnu
‘Abbas secara marfu’ :
- لا ينظر الله إلى رجل أتى رجلًا أو امرأةً
في دبرها
“Allah tidak akan melihat seorang laki-laki
yang mendatangi (menggauli) laki-laki atau wanita (istrinya) dari duburnya”.
Abu Khaalid Al-Ahmar telah diselisihi oleh
Wakii’ bin Al-Jarraah dalam hadits di atas. Waki’ bin Al-Jarraah telah
meriwayatkan dari Adl-Dlahhaak bin ‘Utsman, dari Makhramah, dari Kuraib, dari
Ibnu ‘Abbas secara mauquf [Diriwayatkan oleh An-Nasa’iy
dalam ‘Isyratun-Nisaa’ (no. 116)]. Al-Haafidh Ibnu Hajar
berkata dalam At-Talkhiishul-Habiir (3/206) : “Riwayat ini
lebih shahih di sisi mereka daripada riwayat yang marfu’”.
Apa yang dikatakan oleh Al-Haafidh adalah
benar, karena Waki’ lebih hifdh dan tsabtdaripada
Abu Khaalid Al-Ahmar. Hal itu dikarenakan Abu Khaalid adalah perawi yang berstatus shaduq,
kadang salah dan berselisihan riwayatnya; sedangkan Waki’ adalah perawi yang
berstatus tsiqatun haafidh.
Tarjih yang dilakukan atas dua riwayat di atas
menyimpulkan bahwa riwayat Waki’ yang mauquf dimenangkan atas
riwayat Abu Khaalid yang marfu’. Atau dengan kata lain, riwayat di
atas bukanlah merupakan perkataan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam,
melainkan hanya perkataan Ibnu ‘Abbas radliyallaahu ‘anhuma saja.
Perawi salah satu dari dua hadits merupakan
pihak yang mempunyai kisah (shahibul-qishshah). Maka, riwayat perawi ini
lebih kuat daripada yang lainnya.
Contoh :
عن ميمونة قالت :
تزوجني رسول اللّه صلى اللّه عليه وسلم ونحن حلالان
Dari Maimunah, ia berkata : “Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam menikahiku, dan kami berdua dalam keadaan halal
(setelah selesai ihram)” [HR. Abu Dawud no. 1843; shahih].
Riwayat di atas bertentangan dengan riwayat
Ibnu ‘Abbas radliyallaahu ‘anhuma :
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ تَزَوَّجَ مَيْمُوْنَةَ وَهُوَ مُحْرِمٌ
”Bahwasannya Nabi shallallaahu ’alaihi
wa sallam menikahi Maimunah dalam keadaan ihram”
[HR. Al-Bukhari no. 1837 dan Muslim no. 1410].
Jika kita melakukan tarjih atas
dua riwayat di atas, maka riwayat Maimunahradliyallaahu ‘anhaa dimenangkan
atas riwayat Ibnu ‘Abbas radliyallaahu ‘anhuma. Hal ini dikarenakan
ia berstatus sebagai si empunya kisah yang menceritakan pengalamannya.
Ibnul-Musayyib rahimahullah berkata
:
وهم بن عباس في تزويج ميمونة وهو محرم
“Ibnu ’Abbas telah keliru dalam (meriwayatkan)
pernikahan Nabi dengan Maimunah dalam keadaan ihram” [HR. Abu Dawud no. 1845;
shahih].
Perawi salah satu dari dua hadits merupakan
pihak yang mengetahui secara langsung apa yang diriwayatkannya, sedangkan
perawi yang lain tidak. Maka, riwayat pertama lebih kuat dibandingkan riwayat
yang kedua.
Contoh :
عن أبي رافع قال :
تزوج رسول الله صلى الله عليه وسلم ميمونة وهو حلال وبنى
بها وهو حلال وكنت أنا الرسول بينهما
Dari Abu Raafi’, ia berkata : “Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam menikahi Maimunah dalam keadaan halal (telah selesai
ihram) serta membina rumah tangga dengannya dalam keadaan halal. Adapun aku
waktu itu sebagai utusan antara keduanya” [HR. At-Tirmidzi no. 841].
Jika hadits ini shahih[1], maka riwayat Abu
Raafi’ ini dimenangkan atas riwayat Ibnu ‘Abbas (sebagaimana contoh dalam no. 3
di atas), karena Abu Raafi’ merupakan perantara (safiir)
antara Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan Maimunah,
dan yang menerima pernikahan Maimunah dari beliau shallallaahu ‘alaihi
wa sallam.
- Perawi salah satu dari dua hadits termasuk istri-istri
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Maka ia
didahulukan/dikuatkan dari yang lain dalam perkara-perkara yang berkaitan
dengan kehidupan/hubungan suami istri.
Contoh :
عن عائشة وأم سلمة –
رضي الله عنهما- : أن رسول الله صلى الله عليه وسلم كان
يدركه الفجر وهو جنب من أهله ثم يغتسل ويصوم
Dari Aisyah dan Ummu Salamah radliyallaahu
‘anhuma bahwasannya Rasulullahshallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah
mendapati fajar telah terbit dan ketika itu beliau dalam keadaan junub setelah bercampur
dengan istrinya. Kemudian beliau mandi dan berpuasa” [HR.
Al-Bukhari no. 1926 dan Muslim no. 1109].
أن أبا هريرة يقول من أصبح جنبا أفطر ذلك اليوم
Bahwasannya Abu Hurairah pernah berkata :
“Barangsiapa yang pada waktu shubuh dalam keadaan junub, maka ia telah berbuka
pada hari itu” [HR. Malik no. 299, Ibnu Hibban no. 3486, dan yang lainnya;
shahih].
Hadits pertama lebih dimenangkan atas hadits
kedua, sebab ‘Aisyah dan Ummu Salamah lebih mengetahui perihal junub Nabi shallallaahu
‘alaihi wa sallam dibanding dengan Abu Hurairah radliyallaahu
‘anhu.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Tarjih berarti menguatkan atau kecenderungan, sedangkan secara terminology adalah “ memunculkan adanya tambahan bobot pada salah satu dari dua dalil yang sama (sederajat) dengan tambahan yang tidak berdiri sendiri”(menurut ulama’ hanafi), atau “ menguatkan salah satu dalil yang zhanni dari yang lainnya untuk di amalkan (diterapkan) berdasarkan dalil tersebut”(menurut jumhur ulama’).
Didalam cara pentarjihan tersebut dapat dibagi dalam dua kelompok besar, yaitu: (1) teori at-tarjih baina Nushush dan (2) teori at-tarjih baina Qiyas. Didalam teori tarjih baina Nushush yang perlu di perhatiakan yaitu dari segi sanadnya, dari segi matannya, dari segi kandungan hukum dan juga dari segi penggunaan factor (dalil) lain di luar nash. Sedangkan dalam teori yang ke dua yaitu tarjih baina Qiyas yang perlu di perhatikan yaitu dari sisi hukum ashal, dari sisi hukum cabangnya, dari sisi illatntnya dan juga dari sisi factor luar.
DAFTAR PUSTAKA
DR. H. Nazar Bakry. April 2003,Ushul fiqih,Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada
Suyatno. 2014,Dasar-Dasar Ilmu fiqh dan ushul fiqh,Yogyakarta : Ar- Ruzz Media
Prof. Dr. H Rachmat Syafe’i, MA . Ushul Fiqih
http://abul-jauzaa.blogspot.com/2009/06/beberapa-aspek-tarjih-dari-sisi-sanad.html
TARJIH
Disusun Oleh Kelompok 5 :
Ø ASMAH
Ø EVA DIANA
Ø IRFAN FIDDIN
Ø ARMAN
Dosen Pembimbing : Dra.Sri Sudiarti,MA
Prodi : USHUL FIQIH
FAKULTAS AGAMA
ISLAM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SUMATERA UTARA
T.A 2016 /2017
[1] Al-Jurjani, Al-Ta`rifat, (Singapura:
al-haramaini, t.t), hal. 56.
[2] Nazar Bakry, Fiqh dan Ushul Fiqh…, hal. 162.
Lihat Juga. Mukhtar Yahya dan Fatchurrahman, Dasar-dasar Pembinaan
Hukum Islam, (Bandung: Al-Ma`arif, 1997), hal. 470.
[3] Muhammad ibn `Ali ibn Muhammad al-Sawkani, Irsyad
al-Fuhul, (Beirut: Dar al-Fikr, t.t), hal. 224.Wahbah al-Zuhaily, Ushul
al-Fiqh al-Islamiyyi…, hal. 1216. Lihat pula. Nasrun haroen, Ushul
Fiqh. I…, hal. 197.
0 komentar:
Posting Komentar