Hello,This is me!

Asmah Asfaumir

Professional Teacher Professional Teacher Of PAI Teaching is my passion

Tentang Saya

Hello

I'mAsmah Asfaumir

Profesional Teacher

Berangkat dengan penuh keyakinan,Berjalan dengan penuh keikhlasan,istiqomah dalam menghadapi cobaan.Jadilah seperti karang di lautan yang kuat di hantam ombak dan kerjakan hal yang bermanfaat untuk diri sendiri dan orang lain, karena hidup hanyalah sekali. Ingat hanya pada Allah apapun dan di manapun kita berada kepada Dia-lah tempat meminta dan memohon.

Isi Blogs

Referensi Makalah

2016-2017

Berisikan referensi makalah untuk memenuhi tugas-tugas makalah

Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP)

2016-2017

Berisi Tentang RPP dari SD sampai SMP

Berita

2016-2017

Berita-Berita tentang pendidikan

Website maintain

2016-2017

service

Easily Customised

MODERN DESIGN

User Friendly

RESPONSIVE DEVELOPMENT

USER EXPERIENCE

Lovely Design

3000

LINES OF CODE

50

COFFEE CUPS

324

BOOKS

1234

GIFTS

POST

Popular Posts

tarjih

                                                “ KATA PENGANTAR’’  
Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan yang Maha Esa, karena berkat rahmat-Nya kami dapat menyelesaikan makalah ini yang berjudul “ TARJIH”   Makalah ini dibuat dengan tujuan memenuhi tugas dari dosen ushul fiqih. Sesuai dengan tugas yang diberikan, makalah  bertema “ TARJIH ’’ yang membahas segala isinya.   

Kami menyadari bahwa makalah ini jauh dari sempurna, oleh karena itu kami mengharapkan kritik ddan saran dari Ibu serta rekan-rekan sekalian sehingga kami dapat memperbaiki kesalahan-kesalahan dalam makalah ini dan menyempurnakannya sehingga menjadi sumber ilmu yang bermanfaat bagi kita semua.     

Akhir kata kami ucapkan terima kasih kepada pihak yang sudah berperan dalam menyusun makalah ini mulai dari awal penyusunan hingga penyelesaian makalah. Semoga makalah ini dapat memenuhi tugas yang diberikan dan dapat menjadi acuan untuk menghasilkan makalah yang lebih baik lagi.        

                                                                                   

                                                                                                            Medan,         MARET  2016       














DAFTAR ISI
                                                                                                                        Halaman        
KATA PENGANTAR
        
DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN              
1.1 Latar Belakang Masalah  
1.2 Rumusan Masalah


BAB II            PEMBAHASAN
2.1                   Pengertian Tarjih        
2.2                   Dasar- Dasar Tarjih    
2.3                   Syarat-Syarat Tarjih   
2.4                   Cara Pentarjihan         
2.5                  
Contoh Kasus Metode Tarjih


BAB III          KESIMPULAN
3.1                   Kesimpulan
3.2                   Daftar Pustaka






BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar belakang
Ushul fiqh merupakan sarana atau metode dalam hukum islam yang sudah ada yakni bersumberkan Al-Qur’an dan Hadits. Didalam mengkaji Al-Qur’an dan Hadits ini, janganlah menela’ah mentah-mentah, agar kita tidak keliru didalam mengamalkannya. Supaya menjadi hukum syari’ yang sesuai haruslah menggunakan metode yang benar, karena dalam pengistinbatan hukum islam terdapat beberapa metode yang harus dipahami betul-betul. Yang salah satunya dengan metode ta’arudh ad-dilalah yang di dalm metode ini terdapat teori al- tarjih. Ilmu tarjih itu sendiri merupakan bagian dari cabang ilmu ushul fiqh yang membicarakan tentang “ menguatkan” baik itu menguatkan nash, hadits,, ataupun yang lainnya agar tidak ada kelemahan dalm pengamalan hukum yng dikeluarkan oleh berbagai metode tadi, sehingga tidak ada lagi keraguan. Namun kita juga perlu melihat bagaimana kriteria ulama terdahulu supaya kita dapat melaksanakan dan mengeluarkan hukum dari setiap permasalahannya yang ada dihadapan kita. Untuk mengkaji lebih jelas apa itu tarjih, dan bagaimana penerapan teori ini, maka kami membuat rumusan masalah           

1.2  Rumusan Masalah
1.Apa yang dimaksud dengan tarjih ?
2. Apa dasar-dasar metode teori Tarjih ?
3. Apa saja ayarat-syarat untuk mentarjih ?
4. Bagaimana cara pentajrihan suatu hukum
BAB II
PEMBAHASAN

2.1Pengertian tarjih
Secara leksikal perkataan tarjih (  تر جيح   )adalah masdar darikata Arab  “rajjahaرجح )   ), ” yurajjihu” ( يرجح   ), ” tarjihan” (ترجيحا   ), yang secara etimologi sebagaimana dikutip dalam kitab al-Ta`rifat karya `Ali bin Muhammad al-Jurjani yaitu: 
الترجيح هو اثبات مرتبة فى احدالدليلين على الاخر                                                     
Artinya: “Tarjih adalah menetapkan atau menguatkan salah satu dalil dengan lainnya.[1]
Konsep tarjih muncul ketika terjadinya pertentangan secara lahir antara satu dalil dengan dalil lainnya yang sederajat dan tidak bisa diselesaikan dengan jalan (metode) al-jama` wa al-tawfiq (الجمع والتوفيق   ). Dalil yang dikuatkan disebut dengan rajih ( راجح ), sedangkan dalil yang dilemahkan disebut marjuh  (  مرجوح )Adapun Pengertian tarjih secara terminologi terdapat dua definisi yang dikemukakan oleh ulama ushul fiqh :           

A. Menurut ulama hanafiah
Artinya : memunculkan adanya tambahan bobot pada salah satu dari dua dalil yang sama (sederajat) dengan tambahan yang tidakberdiri sendiri.




B.Menurut jumhur ulama
Artinya : menguatkan salah satu dalil yang zhanni dari yang lainnya untuk diamalkanberdasarkan dalil tersebut.
Dengan dalil ini ulama jumhur mengkhususkan tarjih pada permasalahan zhanni, dan menurut mereka tarjih tidak termasuk persoalan yang qoth’i, juga tidak termasuk antara yang qoth’i dan zhanni.
2.2  Dasar-dasar tarjih
1) Ijma’ sahabat untuk menjalankan tarjih. Mereka memakai hadits yang diriwayatkan ‘aisyah yang menerangkan wajibnya mandi ketika bertemu dua alat kelamin laki-laki dan perempuan, dan mereka meninggalkan hadits “air hanya dari air”.
2) Kalau dua dugaan berlawanan, kemudian salah satunya lebih kuat, maka memakai dugaan yang kuat ini menjadi tertentu/tidak ragu-ragu menurut adat kebiasaan. Demikian pula hukum-hukum syari’at. Kalau tidak memakai yang lebih kuat, tentulah memakai yang lemah. Pemakaian yang lemah dengan meninggalkan yang kuat tidak dapat diterima akal.
2.3  Syarat-syarat Tarjih
Adapun mengenai syarat-syarat tarjih itu dapat disebutkan, sebagaiberikut:
  1. Dua dalil tersebut harus ta`arudh (kontradiksi) dan tidak ada kemungkinan untuk mengamalkan keduanya dengan cara apapun. Oleh karena itu tidak mungkin terjadi tarjih dalam dua dalil yang qath`i (pasti ) karena kedua dalil ini tidak mungkin bertentangan (kontradiksi).
  2. Kedua dalil yang bertentangan itu sama pantas untuk petunjuk kepada yang dimaksud.
  3.  Kedua dalil yang dimaksud ada petunjuk yang mewajibkan beramal salah satu keduanya dan meninggalkan yang lainnya. [2]
Berdasarkan persyaratan tarjih di atas, dapat dipahami bahwa, tidak terjadi tarjih terhadap al-Qur`an (qath`i al-thubut) dengan hadith Ahad (dhanni al-thubut) dikarenakan kedua dalil ini tidak sederajat (setingkat). Lain halnya jika terjadi perbedaan dari segi dalalahnya. Seperti kedua dalil-dalil itu sama-sama qath`i al-thubut (al-Qur`an dan Hadith mutawatir), akan tetapi kandungan isinya (dalalah) yang satu qath`i al-dalalah dan yang lain dhanni al-dalalah.
Demikian pula (tidak terjadi tarjih), jika yang satu dalil dari hadith Mutawatir dan yang lain hadith Ahad, karena dalam hal semacam ini hadith Mutawatir yang harus didahulukan dalam pengamalannya.
2.4  Cara pentarjihan
  1. Tarjih bain an-nushus
Al-tarjih baina al-nusush, atau menguatkan salah satu nash (ayat atau hadith)yang saling bertentangan. Untuk mengetahui kuatnya salah satu nash yang saling bertentangan, ada beberapa cara yang dikemukakan para ulama usul fiqh, yaitu: (a). Dari segi sanad (para perawi hadits). (b). dari segi matan (teks) hadits. (c). Dari segi hukum atau kandungan hadiths (madlul) . (d). Pentarjihan dengan menggunakan faktor (dalil) lain di luar nash (amr al-kharij).
  • Dari segi sanad
Imam as-syaukani berpendapat bahwa pentarjihan dapat dilakukan melalui 42 cara, diantaranya[3] :
1)      Menguatkan salah satu nash dari segi sanadnya.
2)      Pentarjihan dengan melihat riwayat itu sendiri.
3)      Pentarjihan melalui caramenerima hadits dari rasul.
  • Dari segi matan
Menurut al-amidi ada 51 cara dalam pentarjihan dari segi matan, diantaranya :
1)   Teks yang mengandung larangan diutamakan daripada teks yang mengandung perintah. Sesuai dengan kaidah menolak kemadharatan lebih baik daripada mengambil manfaat.
2)   Teks yang mengandung perintah lebih didahulukan daripada teks yang mengandung kebolehan, karena melaksanakan perintah sekaligus melaksanakan hukum yang boleh.
3)   Makna hakikatdari suatu lafazh lebih diutamakan daripada makna majazi.
4)   Dalil khusus diutamakan daripada dalil umum.
5)   Teks umum yang belum dikhususkan lebih diutamakan teks umu yang telah ditakhsis.
6)   Teks yang berisi perkataan lebih diutamakan daripada teks yang sifatnya perbuatan.
7)   Teks yang muhkam lebih diutamakan daripada teks yang mufassar, karena muhkam lebih pasti daripada muffassar.
8)   Teks yang sharih (jelas) didahulukan daripada teks yang bersifat sendirian.
  • Dari segi hukum atau kandungan hukum
Melalui cara ini menurut al-amidi ada 11 cara, sedangkan menurut asy-syaukani ada 9 cara, diantaranya :
1)      Teks yang mengandung bahaya menurut jumhur lebih diutamakan dari teks yang membolehkan.Menurut jumhur teks yang menetapkan lebih diutamakandari teks yang bersifat menetapkan memberiinformasi tambahan
2)      Apabila suatu teks menghindarkan terpidana dari hukuman, dan teks yang lain mewajibkan terpidana hukuman maka yang dipilih adalah yang pertama.
3)      Teks yang mengandung hukuman lebih ringan didahulukan daripada teks yang mengandung hukuman berat
  • Tarjih menggunakan faktor (dalil) lain dari luar nash
Menurut al-amidi ada 15 cara dengan metodeini, sedangkan as-syaukani meringkasnya menjadi 10, diantaranya :
1)   Mendahulukan salah satu dalil yang didukung dalil lain, baik al-qur’an, sunnah, maupun qiyas, dll.
2)   Mendahulukakn salah satu amalan yang didahuluklan oleh amalan ahli madinah, karea mereka lebih mengetahui persoalan turunnya ayat.
3)   Menguatkan dalil yang menyebutnya illat (motivasi) hukumnya dari suatu nash serta dalil yang mengandungasbabun nuzul atau asbabul wurud daripada dalil yang tidakmenyebutkannya.
4)   Mendahulukan dalil yang didalamnya menuntut sikap waspada daripada dalil yang tidakmenuntut demikian.
5)   Mendahulukan dalil yang diikuti perkataan atau pengalaman dari perawinya daripada dalil yang tidak demikian.           


  1. Tarjih bain al-aqisyah
 Ta`arudh dengan segala macam cara penyelesaiannya tersebut di atas adalah bertentangan antara dua dalil syara` yang berupa nash. Di samping itu ada ta`arudh yang terjadi antara dua dalil syara` yang bukan nash  yaitu ta`arudh antara qiyas dengan qiyas. Muhammad bin `Ali al-Syawkani mengemukakan tujuh belas macam pentarjihan dalam persoalan qiyas yang saling bertentangan (ta`arudh).  Ketujuh belas macam pentarjihan tersebut dikelompokkan oleh Wahbah al-Zuhaily (guru besar fikih Islam/usul Fiqh di Universitas Damaskus, Suriah) menjadi empat kelompok,  yaitu: 1. Tarjih dari segi hukum asal. 2. Tarjih dari segi hukum furu`. 3. Tarjih dari segi `illat. 4) Tarjih melalui faktor luar.
  • Dari segi hukum ashal
1)   Menguatkan qiyas yang hukum ashalnya qoth’i dari yang zhanni.
2)   Menguatkan qiyas yang landasan dalilnyaijma dari qiyas yang landasan dalilnya nash, sebab nash itu bisa di takhsis, ditakwildan dinasakh, sedangkan ijma’ tidak.
3)   Menguatkan qiyas yang didukung dalil yang khusus.
4)   Menguatkan qiyas yang sesuai dengan kaidah-kaidah qiyasdari yang tidak.
5)   Menguatkan qiyas yang telah disepakati para ulama tidak akan dinasakh.
6)   Menguatkan qiyash yang huukum ashalnya bersifat khusus.
  • Dari segi hukum cabang
1)   Menguatkan hukum cabang yang dating, kemudian dibandingkan dengan hukum ashal.
2)   Menguatkan hukum cabang yang illatnya diketahui secara qoth’i dari yanag hanya diketahui secara zhanni.
3)   Menguatkan hukum cabang yang ditetapkan berdasarkan sejumlah logika nash ari hukum cabang yang hanya didasarkan kepada logika nash secara tafshili.
  • Dari segi illat
Dari kelompok ini terbagi menjadi dua cara yakni : dari segi penetapandan segi sifat illat itu sendiri. Adapun dari segi penetapan :
1)   Menguatkan illat yang disebutkan dalam nash atau disepakati sebagai illat dari yang tidak demikian.
2)   Menguatkan illat yang dilakukan dengan cara as-sibru wa attaqsim yang dilakukanpara mujtahid.
3)   Menguatkan illat yang didalamnya terdapat isyarat nash dari illat yang ditetapkan melalui munasabah (keserasian, karea isyarat nash lebih baik daripada dugaan seorang mujtahid.
                   Dari sifat illatnya :
1)   Menguatkan illat yng bisa diukur daripada yang relative.
2)   Menguatkan illat yng sifatnya bisa dikembangkan pada hukum lain daripada yang terbatas pada satu hukum saja..
3)   Menguatkan illat yang berkaitan dengan masalah yang penting dari pada yang bersifat hajjiya (penunjang).
4)   Menguatkan illat yng jelas melatarbelakangi suatu hukum, daripada illat yang bersifat indicator sajaterhadap latar belakang hukum
  • Melalui faktor lain
1)   Menguatkan qiyas yang didukung lebih dari satu illat
2)   Menguatkan pendapat sahabat sebagai salah satu dalil bagi yang mengakui bahwa pendapat sahabat itu dalil.
3)   Menguatkan illat yang bisa berlaku untuk seluruh furu’
4)   Menguatkan qiyas yang didukung lebih dari satu dalil.  

2.5  Contoh Kasus Metode Tarjih
Perawi salah satu dari dua hadits lebih tsiqah, lebih dlabth, lebih hati-hati dalam periwayatan, dan lebih sedikit salahnya daripada perawi yang lain. Maka, riwayat pertama lebih kuat dibandingkan riwayat yang kedua[4].
Contoh :
Hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah (3/529), At-Tirmidzi (no. 1165), An-Nasa’i dalam ‘Isyratun-Nisaa’ (no. 115), Ibnul-Jaarud (3/52 – Al-Ghauts), Ibnu Hibbaan (Al-Ihsaan : 6/202) dari jalan Abu Khaalid Al-Ahmar (Sulaiman bin Hayyaan Al-Azdiy), dari Adl-Dlahhaak bin ‘Utsmaan, dari Makhramah bin Sulaiman, dari Kuraib, dari Ibnu ‘Abbas secara marfu’ :
  1. لا ينظر الله إلى رجل أتى رجلًا أو امرأةً في دبرها
“Allah tidak akan melihat seorang laki-laki yang mendatangi (menggauli) laki-laki atau wanita (istrinya) dari duburnya”.
Abu Khaalid Al-Ahmar telah diselisihi oleh Wakii’ bin Al-Jarraah dalam hadits di atas. Waki’ bin Al-Jarraah telah meriwayatkan dari Adl-Dlahhaak bin ‘Utsman, dari Makhramah, dari Kuraib, dari Ibnu ‘Abbas secara mauquf [Diriwayatkan oleh An-Nasa’iy dalam ‘Isyratun-Nisaa’ (no. 116)]. Al-Haafidh Ibnu Hajar berkata dalam At-Talkhiishul-Habiir (3/206) : “Riwayat ini lebih shahih di sisi mereka daripada riwayat yang marfu’”.
Apa yang dikatakan oleh Al-Haafidh adalah benar, karena Waki’ lebih hifdh dan tsabtdaripada Abu Khaalid Al-Ahmar. Hal itu dikarenakan Abu Khaalid adalah perawi yang berstatus shaduq, kadang salah dan berselisihan riwayatnya; sedangkan Waki’ adalah perawi yang berstatus tsiqatun haafidh.
Tarjih yang dilakukan atas dua riwayat di atas menyimpulkan bahwa riwayat Waki’ yang mauquf dimenangkan atas riwayat Abu Khaalid yang marfu’. Atau dengan kata lain, riwayat di atas bukanlah merupakan perkataan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, melainkan hanya perkataan Ibnu ‘Abbas radliyallaahu ‘anhuma saja.
Perawi salah satu dari dua hadits merupakan pihak yang mempunyai kisah (shahibul-qishshah). Maka, riwayat perawi ini lebih kuat daripada yang lainnya.
Contoh :
عن ميمونة قالت : تزوجني رسول اللّه صلى اللّه عليه وسلم ونحن حلالان
Dari Maimunah, ia berkata : “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam menikahiku, dan kami berdua dalam keadaan halal (setelah selesai ihram)” [HR. Abu Dawud no. 1843; shahih].
Riwayat di atas bertentangan dengan riwayat Ibnu ‘Abbas radliyallaahu ‘anhuma :
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَزَوَّجَ مَيْمُوْنَةَ وَهُوَ مُحْرِمٌ
”Bahwasannya Nabi shallallaahu ’alaihi wa sallam menikahi Maimunah dalam keadaan ihram” [HR. Al-Bukhari no. 1837 dan Muslim no. 1410].
Jika kita melakukan tarjih atas dua riwayat di atas, maka riwayat Maimunahradliyallaahu ‘anhaa dimenangkan atas riwayat Ibnu ‘Abbas radliyallaahu ‘anhuma. Hal ini dikarenakan ia berstatus sebagai si empunya kisah yang menceritakan pengalamannya.
Ibnul-Musayyib rahimahullah berkata :
وهم بن عباس في تزويج ميمونة وهو محرم
“Ibnu ’Abbas telah keliru dalam (meriwayatkan) pernikahan Nabi dengan Maimunah dalam keadaan ihram” [HR. Abu Dawud no. 1845; shahih].
Perawi salah satu dari dua hadits merupakan pihak yang mengetahui secara langsung apa yang diriwayatkannya, sedangkan perawi yang lain tidak. Maka, riwayat pertama lebih kuat dibandingkan riwayat yang kedua.
Contoh :
عن أبي رافع قال :   تزوج رسول الله صلى الله عليه وسلم ميمونة وهو حلال وبنى بها وهو حلال وكنت أنا الرسول بينهما
Dari Abu Raafi’, ia berkata : “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam menikahi Maimunah dalam keadaan halal (telah selesai ihram) serta membina rumah tangga dengannya dalam keadaan halal. Adapun aku waktu itu sebagai utusan antara keduanya” [HR. At-Tirmidzi no. 841].
Jika hadits ini shahih[1], maka riwayat Abu Raafi’ ini dimenangkan atas riwayat Ibnu ‘Abbas (sebagaimana contoh dalam no. 3 di atas), karena Abu Raafi’  merupakan perantara (safiir) antara Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan Maimunah, dan yang menerima pernikahan Maimunah dari beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
  1. Perawi salah satu dari dua hadits termasuk istri-istri Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Maka ia didahulukan/dikuatkan dari yang lain dalam perkara-perkara yang berkaitan dengan kehidupan/hubungan suami istri.
Contoh :
عن عائشة وأم سلمة رضي الله عنهما- : أن رسول الله صلى الله عليه وسلم كان يدركه الفجر وهو جنب من أهله ثم يغتسل ويصوم
Dari Aisyah dan Ummu Salamah radliyallaahu ‘anhuma bahwasannya Rasulullahshallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah mendapati fajar telah terbit dan ketika itu beliau dalam keadaan junub setelah bercampur dengan istrinya.  Kemudian beliau mandi dan berpuasa”  [HR. Al-Bukhari no. 1926 dan Muslim no. 1109].
أن أبا هريرة يقول من أصبح جنبا أفطر ذلك اليوم
Bahwasannya Abu Hurairah pernah berkata : “Barangsiapa yang pada waktu shubuh dalam keadaan junub, maka ia telah berbuka pada hari itu” [HR. Malik no. 299, Ibnu Hibban no. 3486, dan yang lainnya; shahih].
Hadits pertama lebih dimenangkan atas hadits kedua, sebab ‘Aisyah dan Ummu Salamah lebih mengetahui perihal junub Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dibanding dengan Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu.
























                                                                        BAB III         
                                                                     PENUTUP


 3.1 Kesimpulan         

Tarjih berarti menguatkan atau kecenderungan, sedangkan secara terminology adalah “ memunculkan adanya tambahan bobot pada salah satu dari dua dalil yang sama (sederajat) dengan tambahan yang tidak berdiri sendiri”(menurut ulama’ hanafi), atau “ menguatkan salah satu dalil yang zhanni dari yang lainnya untuk di amalkan (diterapkan) berdasarkan dalil tersebut”(menurut jumhur ulama’).   
Didalam cara pentarjihan tersebut dapat dibagi dalam dua kelompok besar, yaitu: (1) teori at-tarjih baina Nushush dan (2) teori at-tarjih baina Qiyas. Didalam teori tarjih baina Nushush yang perlu di perhatiakan yaitu dari segi sanadnya, dari segi matannya, dari segi kandungan hukum dan juga dari segi penggunaan factor (dalil) lain di luar nash. Sedangkan dalam teori yang ke dua yaitu tarjih baina Qiyas yang perlu di perhatikan yaitu dari sisi hukum ashal, dari sisi hukum cabangnya, dari sisi illatntnya dan juga dari sisi factor luar.














                                             DAFTAR PUSTAKA

DR. H. Nazar Bakry. April 2003,Ushul fiqih,Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada
Suyatno. 2014,Dasar-Dasar Ilmu fiqh dan ushul fiqh,Yogyakarta : Ar- Ruzz Media
Prof. Dr. H Rachmat Syafe’i, MA . Ushul Fiqih
http://abul-jauzaa.blogspot.com/2009/06/beberapa-aspek-tarjih-dari-sisi-sanad.html
























       TARJIH

Disusun Oleh Kelompok 5 :
Ø  ASMAH
Ø  EVA DIANA
Ø  IRFAN FIDDIN
Ø  ARMAN

 









                   Dosen Pembimbing : Dra.Sri Sudiarti,MA
                        Prodi : USHUL FIQIH

FAKULTAS AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SUMATERA UTARA
                                                  T.A 2016 /2017



[1] Al-Jurjani, Al-Ta`rifat, (Singapura: al-haramaini, t.t), hal. 56.
[2] Nazar Bakry, Fiqh dan Ushul Fiqh…, hal. 162. Lihat Juga. Mukhtar Yahya dan Fatchurrahman, Dasar-dasar Pembinaan Hukum Islam, (Bandung: Al-Ma`arif, 1997), hal. 470.

[3] Muhammad ibn `Ali ibn Muhammad  al-Sawkani, Irsyad al-Fuhul, (Beirut: Dar al-Fikr, t.t), hal. 224.Wahbah al-Zuhaily, Ushul al-Fiqh al-Islamiyyi…, hal. 1216. Lihat pula. Nasrun haroen, Ushul Fiqh. I…, hal. 197.

testimonial

Larry Page

CEO of Google

Steve Jobs

CEO of apple

Mark Zuckerberg

CEO of facebook

ASMAH ASFAUMIR
0853000333444
Marelan City, Indonesia

SEND ME A MESSAGE

Diberdayakan oleh Blogger.

Assalamualaikum